Skip to main content

Featured

Di halte depan kampus belum sampai di jam sepertiga malam. Saya melihat pemuda; tidak terlalu tinggi, hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam. Ia tidak terlihat seperti orang yang hendak berpergian, namun lebih terlihat tengah meratapi dunia. Meski lebih terlihat bara rokok di tangannya, namun tak mungkin salah, kepalanya penuh dengan kegetiran yang siap dimuntahkan kapan pun. Saya tidak berani bertanya, sebab mungkin pria itu hanya ingin sendiri atau sengaja menyendiri dari padatnya pemikiran dan keadaan yang menjadikanya terlihat sangat kalut. Saya hanya mengamati dan berusaha memaknai, bahwa seorang pria yang dianggap perkasa ternyata bisa menjadi sangat lemah hanya karena suatu masalah. Namun saya semakin dibuat mati penasaran atas apa yang pria ini lakukan. Ia tidak mengajak saya berbicara. Ia hanya menjaring bising kendaraan yang lewat, menghisap batang tembakau berkali-kali. Dan sesekali menyeka wajahnya. Entahlah, entah ada sungai yang mengalir di pipi atau tengah bersy...

Sebuah Perjalanan : Bapak | Sajak Sederhana

 

Sebuah Perjalanan:

Bapak

 

Di sepetak harap yang tekun kau rawat saat matahari masih melamur jejak atau remang menjelang maghrib, ada doa yang tertanam satu per satu tumbuh dan berkembang. Selain air dan pupuk, sabar dan keyakinan adalah yang menjadikannya bersemai. Kemudian di antara yang banyak tumbuh; selain gabah dan berkah, ada bahagia yang dibawa pulang ke rumah.

Kau menderas namaku di antara langkah cangkul dan sabit. Lebih lantang dari subuh yang telah lewat. Kau menasbih lelah menjadi beras cerah; menegaskan langkah melewati parit dan pematang, di antara lumpur yang menggenang.


Sawah | Tangkapan visual pribadi

Di banyak yang tak kau tahu, kawanan burung menguping mimpimu. Air dan lumpur saling berkecibak berbisik pada langkah kaki untuk mengaminkan semua doa-doamu: bahwa kelak, anak laki-laki pun perempuanmu akan datang memanen cita-cita yang kau tanam dan pupuk dengan giat hingga subur di antara cangkul yang pulas tertidur.

Setelah waktu habis berhamburan, di pertengahan hari menjelang petang, kau masih tetap taat berdiri dan melihat, membelai dan memijak. Di bawah matahari sore yang mencair menjatuhkan diri, kau kesatria. Berzirah tekat dengan caping yang tak mempan dihunus kemalangan.

Kau pemberani, pantang memberi ampun pada kepahitan. Tak diizinkannya menyentuh sesiapa yang ada di radius hidupmu. Kau pun pemberani, melawan usia dan persendian yang kerap mengingatkanmu perjalanan hidup. Dibawakannya pulang kemurnian bersama sekarung tawa di punggung.

Kau menaruhnya mimpi pada nasi yang termasak di sudut dapur, di antara panci dan tungku, juga makanan pada tempayan dan periuk. Menjadikannya ramah pembicaraan oleh seisi jagat yang kau miliki.

Meski zaman terus berganti, kau tetap tak sibuk dengan gawai di jemari, tidak gemar dengan rutinitas laba dan rugi. Bagimu, hidup hari ini adalah tentang melahirkan banyak mimpi.

Di sini, kau melahirkan kami. Di tempat langit menulis puisi, juga sebuah rumah penuh romansa. Tempat dimana kau menaklukan semesta.

Satu atau dua dekade lagi, pak. Istirahatlah. Barangkali ingin merebah di beranda rumah, pada kursi bambu yang juga tengah melawan usia atau di depan teras samping jendela. Pilihlah, sembari menyesap kopi atau menikmati sisa hari.

Aku tahu, kau tak bernyali, pun tak banyak janji. Namun aku tahu, doamu paling berani. Entah bosan atau tidak Tuhan mendengarmu; kau selalu ingin dipanjangkan usia, melihat mimpi terlaksana pada pewaris generasi yang kau miliki, juga segala kebaikan untuk senantiasa menyelimuti.

Sebelum usiamu habis dimampus waktu, semoga mata tuamu masih mampu untuk mendaratkan kenyataan pun kebahagiaan. Juga tangan-tangan rentamu yang masih mampu menggenggam mimpi yang terkabulkan.

 

Sebentar.

Sebentar lagi.

Comments

Popular Posts