Di halte depan kampus belum sampai di jam sepertiga malam. Saya melihat pemuda; tidak terlalu tinggi, hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam. Ia tidak terlihat seperti orang yang hendak berpergian, namun lebih terlihat tengah meratapi dunia. Meski lebih terlihat bara rokok di tangannya, namun tak mungkin salah, kepalanya penuh dengan kegetiran yang siap dimuntahkan kapan pun.
Saya tidak berani bertanya, sebab mungkin pria itu hanya ingin sendiri atau sengaja menyendiri dari padatnya pemikiran dan keadaan yang menjadikanya terlihat sangat kalut.
Saya hanya mengamati dan berusaha memaknai, bahwa seorang pria yang dianggap perkasa ternyata bisa menjadi sangat lemah hanya karena suatu masalah. Namun saya semakin dibuat mati penasaran atas apa yang pria ini lakukan. Ia tidak mengajak saya berbicara. Ia hanya menjaring bising kendaraan yang lewat, menghisap batang tembakau berkali-kali. Dan sesekali menyeka wajahnya. Entahlah, entah ada sungai yang mengalir di pipi atau tengah bersyukur sebab ia masih bisa merasakan kehidupan.
Saya membersamainya. Berusaha ikut merasakan apa yang tengah melandanya. Namun saya hanya mampu merasakan riuh jalanan, tidak dengan apa yang dipikirkan. Maka sebelum saya berasumsi terlalu jauh, saya berusaha menyapa.
"Mas, udah lama?" Lantas ia hanya menganggukan kepala dengan pelan dengan rokok menempel di bibirnya. Tanggapan demikian membuat saya merasa lancang telah mengganggu kekhusuannya. Tapi jika saya tetap diam juga bukan suatu hal yang baik. Sebab seseorang pernah berkata pada saya bahwa "kesedihan, kepahitan memang harus dibagi bukan ditelan sendiri".
Lantas saya menyahut, "sendirian saja mas?". "Tadi sama seseorang tapi sudah pergi" dengan nada lirih menjawab.
Saya hanya berasumsi satu hal setelah ia menjawab demikian. Bahwa telah terjadi peperangan besar yang melahirkan kepedihan. Maka saya tidak ingin melanjutkan bertanya. Saya hanya sesekali memperhatikan wajahnya yang begitu kalut.
Satu batang rokok habis dan ia segera mengganti dengan yang baru. Barangkali rokok sudah menjadi napasnya dan saat tidak ada ia akan mati.
Dihisapan yang ketiga saya mendengar lirih pria di samping saya ini sesenggukan. Entah apa yang menjadikannya semakin kalut; sebab ditinggal pergi seseorang tersebut atau peperangan yang baru saja ia selesaikan. Tidak lama suara itu hilang terbawa bising kendaraan di jalanan. Namun tangis dan air matanya tertinggal di lantai halte. Berserakan bersama abu rokok yang berkali-kali ia hisap.
Tiba-tiba ia membuka pembicaraan tanpa basa-basi.
"Mas juga laki-laki kan?, apa yang salah dengan kita sebagai laki-laki?" Saya tersentak dan hanya menatapnya barang sebentar. Sesekali menghela napas, sebab tak ada jawaban yang saya rasa tepat.
"Memang kenapa mas?" Jawab saya bingung.
"Gapapa mas, saya hanya sedang memikirkan satu hal tentang diri saya yang terlahir sebagai laki-laki. Saya merasa dibentuk untuk menjadi kuat yang harus bisa menerima juga menahan seluruh peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakan. Satu dan lain hal saya merasa sama seperti yang lainnya, bahwa saya manusia yang punya batas kapasitas dalam menampung dan menjadi wadah itu semua".
Saya tidak mengeluarkan satu kata pun dan hanya menatap juga menganggukan kepala. Lantas ia meneruskan pembicaraannya, "Dengan saya merasa menjadi manusia, saya menyadari kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri saya. Saya paham bahwa kekurangan harus diubah atau paling tidak ditutupi. Maka dari itu seseorang perlu punya orang lain untuk saling menutupi kekurangan."
"Iya mas betul" sambungku.
"Lantas kenapa setelah kita menemukan seseorang yang kita anggap tepat. Kita libatkan dia di semua aspek dan banyak hal namun bisa tiba-tiba melengang dan memutuskannya untuk melangkah sendiri?. Bukankah manusia perlu manusia lain untuk saling menutupi kekurangan?" Ia mengatakan dengan penuh emosional.
"Saya sadar bahwa saya sebagai manusia tidak memiliki kelapangan. Saya bisa tetiba meledak dan memukul tembok, atau jika beruntung saya memukul diri saya di depan kaca. Sebab kadang kita hanya perlu meluapkan emosi kita pada sesuatu yang tak bisa melawan dan mau menerima. Dan saya pikir mereka yang selalu diam sekalipun saya hantam berkali-kali"
Saya melihat di pergelangan jari-jarinya yang sedikit berdarah mencepit rokok ke 3 yang ia hisap dari awal bercerita. Saya hanya berpikir, barangkali seperti itu cara tiap orang berdamai dengan dirinya sendiri. Dan saya bukan hakim untuk mengatur bagaiaman tiap orang menyelesaikan permasalahan dengan dirinya sendiri.
"Saya kadang merasa merugi, terlahir jadi laki-laki mas. Asumsi kebanyakan orang kita sebagai laki-laki adalah sosok yang dewasa dan penuh kelembutan. Namun naasnya, saya juga manusia yang perlu kelembutan juga mengharap penghargaan."
Semakin larut, kendaraan semakin jarang dan suaranya terdengar semakin nyaring saat bercerita. Sesekali suaranya hilang terbawa angin dari pepohonan di sebrang jalan.
Saya lebih banyak mengangguk dan tidak terlalu menanggapi. Sebab saya hanya ingin menjadi wadah atas kegetirannya.
Lantas sembari menghabiskan rokok terakhirnya ia berbicara lagi, "Masnya ngga pulang mas? Terima kasih, sebab tidak sengaja saya malah banyak menyampaikan masalah hidup saya ke orang yang baru saya temui. Semoga diberkati kebaikan, mas"
Saya menatapnya dan tersenyum. Saya merasa hidup dan menjadi manusia ketika itu. Padahal saya hanya mendengar dan tidak menanggapinya apa pun. Namun baginya hal semacam itu begitu berarti. Barangkali sebab ia merasa kehilangan tempat dan telinga untuk menaruh kegetiran dan kepahitan.
Maka saya sadar dan setelah ini sepertinya saya harus lebih banyak mendengar. Sebab, barangkali dengan demikian juga bagian dari cara berempati dan melakukan kebaikan.
Search This Blog
Sebab hati akan terus bergerak sebagaimana rasa menempanya
Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment