Skip to main content

Featured

Di halte depan kampus belum sampai di jam sepertiga malam. Saya melihat pemuda; tidak terlalu tinggi, hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam. Ia tidak terlihat seperti orang yang hendak berpergian, namun lebih terlihat tengah meratapi dunia. Meski lebih terlihat bara rokok di tangannya, namun tak mungkin salah, kepalanya penuh dengan kegetiran yang siap dimuntahkan kapan pun. Saya tidak berani bertanya, sebab mungkin pria itu hanya ingin sendiri atau sengaja menyendiri dari padatnya pemikiran dan keadaan yang menjadikanya terlihat sangat kalut. Saya hanya mengamati dan berusaha memaknai, bahwa seorang pria yang dianggap perkasa ternyata bisa menjadi sangat lemah hanya karena suatu masalah. Namun saya semakin dibuat mati penasaran atas apa yang pria ini lakukan. Ia tidak mengajak saya berbicara. Ia hanya menjaring bising kendaraan yang lewat, menghisap batang tembakau berkali-kali. Dan sesekali menyeka wajahnya. Entahlah, entah ada sungai yang mengalir di pipi atau tengah bersy...

Sedang Berjarak - Bagian Kesatu | Sajak Sederhana

Sedang Berjarak

- Bagian Kesatu

 

Kita butuh manusia lain dalam keterhubungan untuk bertumbuh dan berpenghidupan. Kita butuh kekuatan juga keterikatan, meski berjarak kita butuh itu. Meski tersekat kita ingin itu.

Setiap detik, setiap waktu, kita tak pernah luput dari perjumpaan. Membicarakan apa saja, membahas keseragaman maupun perbedaan. Berdebat soal makan malam atau pergi kemana selepas pulang bekerja. Keduanya menyenangkan; berjalan di bawah kecibak hujan atau melintas diantara decit rem kendaraan. Kita sepakat bahwa bahagia tercipta dari hal-hal yang bagi sebagian orang biasa saja.

Kita meyakini bahwa kebersamaan adalah salah satu prediktor dari kebahagiaan yang mampu menyuburkan segala rasa yang telah kita tanam. Entah dekat atau berjauhan, kedekatan tak butuh itu, dan hubungan tak akan pernah kehilangan waktu. Sebab di antara jarum jam yang berdetak, nama-nama kita terapal dengan khidmat; saat matahari baru saja terbangun atau tatkala senja melukiskan nama kita.

                Percayalah, jarak hanya angka, sedang kita terkungkung dalam kemurnian. Kemudian di jantungku, kau serupa bilik kiri yang memompa darah, mengedarkannya ke seluruh tubuh, merupa harap yang menjadikanku benar-benar utuh.

Rumah

Di samping itu, atas terjebaknya diri di setiap rutinitas yang mengitari, barangkali ini adalah saat bagi diri untuk lebih mampu memaknai. Sebab, sudah terlalu biasa melakukan kebiasaan yang biasa dilakukan. Kadang, kita perlu jarak, perlu ruang, perlu waktu agar lebih mampu menghargai rindu.

                Pada saat berjarak yang pertama ini, keteguhan ialah kunci, hingga sampai pada berjarak yang kedua dan seterusnya dengan tawa air mata.

Kelak, selepas semuanya selesai, kita bebas memetik pertanyaan-pertanyaan yang telah mekar di ladang tanya: sudah sekuat apa mengutuk waktu, sudah sejauh mana memaknai rindu?

Comments

Popular Posts