Skip to main content

Featured

Di halte depan kampus belum sampai di jam sepertiga malam. Saya melihat pemuda; tidak terlalu tinggi, hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam. Ia tidak terlihat seperti orang yang hendak berpergian, namun lebih terlihat tengah meratapi dunia. Meski lebih terlihat bara rokok di tangannya, namun tak mungkin salah, kepalanya penuh dengan kegetiran yang siap dimuntahkan kapan pun. Saya tidak berani bertanya, sebab mungkin pria itu hanya ingin sendiri atau sengaja menyendiri dari padatnya pemikiran dan keadaan yang menjadikanya terlihat sangat kalut. Saya hanya mengamati dan berusaha memaknai, bahwa seorang pria yang dianggap perkasa ternyata bisa menjadi sangat lemah hanya karena suatu masalah. Namun saya semakin dibuat mati penasaran atas apa yang pria ini lakukan. Ia tidak mengajak saya berbicara. Ia hanya menjaring bising kendaraan yang lewat, menghisap batang tembakau berkali-kali. Dan sesekali menyeka wajahnya. Entahlah, entah ada sungai yang mengalir di pipi atau tengah bersy...

Duapuluh Empat Per Dua | Sajak Sederhana

 Duapuluh Empat Per Dua

-Agustus

               

               Sembari duduk kita menyantap senja dengan lauk pengujung hari yang tak berujung. Kita kenyang sebab menelan luka, kecewa, sakit, tawa dan bahagia.

Kemudian kau menatap dan tersenyum, kadang menunduk dan malu. Mungkin sadar bahwa cinta memang tidak perlu banyak kata.

                Saat senja tertelan di kerongkongan, mata kita merupa rembulan yang kembang; kadang merupa kuncup, kadang rekah bermekaran.

Sebuah kepastian tumbuh di pokok doa yang panjang, menampilkan seluruh alur dan pertanyaan menjadi satu ketetapan.

                Lantas, atas tenang yang kerap lupa kita pungut di sabtu sore, dua puluh empat per dua akan lunas mengembalikannya dalam debar rindu di jantung kita masing-masing. Semoga kita tak pernah usai meski tanpa memulai, tak pernah berakhir meski tanpa mengawali.

Atas kebetulan atau penasaran, baik dalam maupun dangkal kita tetap dianugerahi kemurnian dalam lekat tanpa ikatan.

                Gerimis tak lagi gugur dari kedua matamu, atau izinkan aku menjadi muara dari kesakitan-kesakitanmu yang menggenang.

Di duapuluh empat per satu pertama, kau dan aku lebih dulu tenggelam pada laju perjalanan, menyelami malam dengan sedikit percakapan, mengarungi bintang-bintang di antara dingin dan jalan bebatuan.

                Sebelum tidur, aku lebih dulu bermimpi tentang jauh hari yang akan kita jalani: menikmati hawa pagi di depan rumah pada sudut perkampungan, menciumi bunga-bunga yang tumbuh di pot samping teras atau menghirup aroma tanah setelah terkena hujan semalaman.

Entah bagaimana denganmu, aku telah berusaha menaruh yakin padamu; perempuan yang membawa kelahiran keduaku.

Membayangkanmu kelak, menyeduh subuh saat cahaya masih melamur jejak di ufuk, menanak tawa menjadi butir-butir nasi dan sayur lodeh, menyiapkan suap demi suap dan pembicaraan sebelum hari dimulai. Hingga aku benar-benar terbenam dan kita terbangun sebagai sepasang kaki yang saling berjalan berdampingan.

Kopi Merapi - Yogyakarta

                Kemudian pada duapuluh empat per satu sisanya, tepat di warung kayu lereng merapi, kita menjadi satu-satunya senyap yang saling beradu detak jantung pada riuh ramai pengunjung. Robusta menyeduh maghrib dalam secangkir ingatan. Korek dan rokok saling beradu napas kerinduan, kita lenyap dalam tiap sesapnya.

                Banyak kepala yang juga menumpahkan cerita pada telinga di samping dan depannya; aku melihat tawa dan peluk menguap di tiap percakapan. Di teguk terakhir sebelum pulang, aku kembali menghabisakan satu batang senyummu. Menyesapnya dengan bahagia, mengakhiri hari yang sesungguhnya baru akan dimulai.

                Pada sisa waktu yang entah kapan kembali, jarum jam meruncingkan tiap detaknya. Memaksa diri merenungi lebih dalam setiap yang telah dilalui: untuk terus berjalan kembali atau cukup sampai di sini. Aku memilih keduanya: untuk terus berjalan bersamamu dan cukup sampai di sini denganmu.

Comments

Popular Posts