Skip to main content

Featured

Di halte depan kampus belum sampai di jam sepertiga malam. Saya melihat pemuda; tidak terlalu tinggi, hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam. Ia tidak terlihat seperti orang yang hendak berpergian, namun lebih terlihat tengah meratapi dunia. Meski lebih terlihat bara rokok di tangannya, namun tak mungkin salah, kepalanya penuh dengan kegetiran yang siap dimuntahkan kapan pun. Saya tidak berani bertanya, sebab mungkin pria itu hanya ingin sendiri atau sengaja menyendiri dari padatnya pemikiran dan keadaan yang menjadikanya terlihat sangat kalut. Saya hanya mengamati dan berusaha memaknai, bahwa seorang pria yang dianggap perkasa ternyata bisa menjadi sangat lemah hanya karena suatu masalah. Namun saya semakin dibuat mati penasaran atas apa yang pria ini lakukan. Ia tidak mengajak saya berbicara. Ia hanya menjaring bising kendaraan yang lewat, menghisap batang tembakau berkali-kali. Dan sesekali menyeka wajahnya. Entahlah, entah ada sungai yang mengalir di pipi atau tengah bersy...

Tanpa Judul - Keenam | Sajak Sederhana

Tanpa Judul
- Keenam

                Pertunjukan paling menyenangkan selain senyummu adalah ketika riuh malam beriring hujan. Semoga kita sepakat bahwa malam selalu menenangkan dan semoga kita saling setuju bahwa hujan selalu menentramkan. Bahwa kita tahu tentang kerlip bintang dan rembulan yang lebur dan berjatuhan, berhias meriah lampu kota, terlengkapi riuh obrolan para manusia.

Malam ini aku meliatnya dari tepi jendela di sudut kedai kopi. 

                Sesekali aku ingin menyelami kepala orang-orang yang sering kali mengutuk hujan; apa yang mereka pikirkan, apa yang ada di benaknya dan mengapa itu terjadi? Sedangkan aku, kebalikan dari semua itu. Aku senang meski hanya memandanginya atau hanya sekadar membiarkan ia jatuh di telapak tanganku. Aku menyebutnya sebagai salah satu cara untuk saling berbicara tatkala sedang tak ada telinga.

                Aku menemuimu sedang berteduh di tepian jalan, dengan sepatu sedikit basah. Kau berdiri di balik tas kecil yang kau peluk itu. Sesekali tanganmu menengadah membiarkan air menggenggam telapak tanganmu. Tanpa kau sadari aku adalah satu-satunya sepasang mata yang memperhatikanmu. Bahkan hingga aku beranjak kau masih menengadahkan tangan, membiarkan hujan berjatuhan memeluk telapak tanganmu.

                Aku tersenyum berjalan pulang. Pada perjalanan aku berpikir ingin menjadi hujan agar dapat menyelamimu. Sesekali aku ingin menjadi tempatmu berteduh agar dapat menjagamu tidak basah.

                Ketika sampai di rumah aku berpikir untuk tetap menjadi diriku sendiri agar dapat menuliskan tentangmu dan mengingatnya sepuasku. Hujan yang aku suka barangkali adalah dirimu dan malam yang aku suka barangkali adalah bersamamu.
 

Comments

Popular Posts